Saturday 24 September 2011

+ Sejarah Singkat Perjalanan Kelompok Pelawak Srimulat




Srimulat adalah kelompok lawak Indonesia yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo di Solo pada tahun 1950. Nama "Srimulat" diambil dari nama istrinya pada saat itu. Dalam perkembangannya, kelompok Srimulat kemudian mendirikan cabang-cabang di Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Srimulat termasuk grup lawak yang cukup lama bertahan meski di tengah perjalanan karier terjadi banyak menghadapi persoalan dan bongkar pasang pemain. Justu hal itulah yang membuat mereka makin matang.
Jika sebelumnya hanya berpentas di gedung-gedung pertunjukan, setelah munculnya televisi swasta, masing-masing anggotanya mendadak menjadi selebritis. Grup ini merupakan satu-satunya grup lawak yang memiliki anggota paling banyak.

Sejarah Singkat SRIMULAT
Grup ini pertama-tama didirikan oleh Srimulat dan Teguh Raharjo dengan nama Gema Malam Srimulat . Pada awalnya Gema Malam Srimulat adalah kelompok seni keliling yang melakukan pentas dari satu kota ke kota lain dari Jawa Timur sampai jawa tengah. Rombongan nyanyi dan tari ini, mulai dengan lawakan pertama mereka pada 30 Agustus 1951 menampilkan tokoh-tokoh dagelan Mataram seperti Wadino (Bandempo), Ranudikromo, Sarpin, Djuki, dan Suparni. Perpaduan antara pertunjukan musik dan lawak kemudian menjadi suatu formula khas bagi Gema Malam Srimulat. Kehadiran dagelan Mataram dengan gaya lawakannya menjadi resep ampuh untuk menarik penggemar. Lawak dan nyanyi menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan lagi. Dengan kekuatan itulah Gema Malam Srimulat kemudian berpentas dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya, di pelbagai kota di Jawa. Dari satu kerumunan ke kerumunan massa lainnya. Era tahun 1960, ketika Srimulat mulai terganggu kesehatannya, Teguh yang menemukan penyanyi cilik Yana-yang menggantikan peran Srimulat sebagai bintang panggung Gema Malam Srimulat-menelurkan gagasan untuk tampil di panggung secara menetap. Maka, Jumat tanggal 19 Mei 1961 menjadi hari bersejarah bagi Gema Malam Srimulat yang menancapkan kakinya pertama kali di Surabaya, tepatnya di THR Surabaya. Nama Gema Malam Srimulat pun lalu diubah lebih “komersial” menjadi Srimulat Review. Dimulailah perjalanan sebuah komunitas kelompok musik-komedi yang mungkin secara tidak sengaja dan berproses menjadi sebuah fenomena, menjadi sebuah subkultur baru. KETIKA banyak pementasan sarat dengan pesan dan kritik sosial, kelompok Srimulat membebaskan diri dari patron tersebut. Srimulat hadir untuk menghibur. Kelompok ini benar-benar merupakan perwujudan sebuah subkultur Jawa.

Pada tanggal 8 Agustus 1950
RA Srimulat telah berusia 42 tahun dan menikah dengan Teguh Slamet Rahardjo (Kho Djien Tiong) yang berusia 24 tahun. Pada saat yang sama, dibentuk rombongan kesenian keliling bernama Gema Malam Srimulat. Gema Malam Srimulat adalah sebuah kelompok kesenian yang menyuguhkan gabungan antara lawak dan nyanyi, terutama lagu-lagu berlanggam Jawa dan keroncong. Penyanyinya waktu itu antara lain Kusdiarti, Suhartati, Ribut Rawit, Maleha, Rumiyati, dan Srimulat sendiri. Teguh menjadi pemain gitar dan biola. Sebelum memasuki tahun 1957, Gema Malam Srimulat berganti nama menjadi Srimulat Review. Memasuki 1957, namanya berubah lagi menjadi Aneka Ria Srimulat.

Pada waktu itu, panggung pementasan yang digunakan adalah panggung yang bersifat permanent di Taman Sriwedari, Solo. Selain itu, Aneka Ria Srimulat juga mengadakan pentas keliling kota dengan mengunjungi pasar malam dan pusat keramaian. Srimulat melaksanakan dua pola ini selama 10 tahun. Tetapi praktis, Srimulat lebih banyak melakukan pementasan keliling ke Jember, Malang, Blitar, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kudus, Pekalongan dan beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan. Ketika masih nomaden, anggota Srimulat mencapai sekira 28 orang.

Para pentolan dagelan Mataram seperti Bandempo, Ranudikromo, Sarpin dan Suparni merupakan generasi pertama yang mengawali masuknya lawak dalam Gema Malam Srimulat. Masuknya generasi kedua pelawak dagelan Mataram terjadi pada tahun 1953 ketika Hardjo Gepeng, Djojo Panggung, Karno Willem dan Djiu ikut bergabung. Generasi ketiga datang pada tahun 1956 yang meliputi Johny Gudel, Rusgeger dan Brontoyudo.

Pada tahun 1968

Teguh mulai melakukan perombakan format pagelaran. Aneka Ria Srimulat mulai mengutamakan tampilnya sandiwara dengan banyolan spontan sebagai sajian utama. Srimulat lalu benar-benar berubah menjadi grup komedi. Dengan perubahan ini, Srimulat membutuhkan dramaturgi lawakan karena dagelanlah yang menjadi roh yang menghidupi seluruh jalinan cerita. Ini merupakan penemuan yang sangat penting dan mendasar. Tadinya lawak hanya jadi selingan (baik di ludruk, ketoprak, bahkan wayang, dan Srimulat sebelum 1968), sekarang ia menjadi satu-satunya tumpuan. Fenomena ini merupakan kali pertama di Indonesia sebuah drama yang diselingi nyanyi dan seluruh alur ceritanya dilawakkan atau dilucukan di atas pentas.

Sejak September 1972
Srimulat tampil rutin 4 bulan sekali di TIM, Jakarta dengan sambutan luar biasa. Srimulat yanga berasal dari Jawa mulai berekspansi ke level nasional.
Hal-hal yang mendorong ekspansi Srimulat ini terdiri dari 2 faktor, yakni:

☻.faktor eksternal, yakni adanya kesempatan bagi Srimulat untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya dalam seni lawak Indonesia.
☻.keinginan Teguh sebagai pemimpin Srimulat untuk memupuk kemampuan dan memperluas pengaruh Srimulat di Indonesia.

Ekspansi ini menyisakan sebuah persoalan yang harus diselesaikan Srimulat, yakni persoalan bahasa. Selama ini, Srimulat yang berakar dari kebudayaan Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai alat ekspresi keseniannya. Setelah pentas di Jakarta, mereka harus menggunakan sosio-linguistik nasional, yaitu bahasa Indonesia. Di tingkat ini, Srimulat akhirnya menyesuaikan diri dengan perubahan itu dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa di atas pentas. Meski demikian, logika berpikir dan logika berbahasa mereka tetap menggunakan logika bahasa Jawa. Bahkan kemedokan bahasa Jawa digunakan sebagai bahan lawakan. Di Srimulat, bahasa Jawa tetap difungsikan sebagai sarana komunikasi, ekspresi dan aktualisasi diri di antara orang-orang Srimulat.

Pada tahun 1975
Johny Gudel dan beberapa anggota Srimulat (Kardjo AC/DC, Suroto, Subur, Rujilah, Rus Pentil, Sumiati) memisahkan diri dari Srimulat untuk mendirikan grup lawak sendiri. Jumlah total kru yang keluar 43 orang. Ini merupakan gelombang persoalan pertama yang melanda Srimulat. Pada tahun 1976 orang-orang dari grup sandiwara Lokaria bergabung dengan Srimulat. Tahun 1977 Srimulat mengalami zaman keemasannya. Selain mempertahankan yang di Jakarta dan di Surabaya, Teguh mendirikan Aneka Ria Srimulat di Solo untuk Taman Hiburan Bale Kambang. Mulai Oktober 1981, Srimulat tampil secara permanen di Taman Ria Remaja Senayan.

Pada tahun 1982
Srimulat mengalami transformasi yang cukup berpengaruh untuk karir mereka selanjutnya. TVRI Stasiun Pusat Jakarta mulai menampilkan Srimulat sekali dalam sebulan selama 55 menit. Sejak itu, Srimulat mengalami masa kejayaan selama 5 tahun. Setelah menguasai televise (TVRI masih satu-satunya televisi yang boleh mengudara), Srimulat kemudian juga ikut terlibat dalam beberapa produksi film layar lebar.

Pada ulang tahun keempat siaran mereka di TVRI, pada 10 Oktober 1985, jumlah personel Srimulat sudah mencapai 77 orang. Ditambah kru mereka yang di Solo dan Surabaya, jumlah anggota Srimulat mencapai 300 orang. Sebuah jumlah yang mengagumkan. Tahun-tahun itu, Srimulat juga mulai menetapkan Jakarta sebagai pusat kegiata. Hal itu sesuai dengan kondisi ekonomi politik Indonesia yang mulai menjadikan Jakarta sebagai sentral pembangunan.

Pada bulan Agustus 1986
elawak-pelawak top Srimulat, seperti Gepeng, Basuki, Timbul, Tarzan, Kadir, Nurbuat, dan Rohana menyatakan keluar dari Srimulat. Ini merupakan gelombang kedua eksodus orang-orang Srimulat. Srimulat didera oleh berbagai komplikasi masalah disimak dari wataknya sebagai kesenian tradisional. Ia berbenturan dengan masalah manajemen dan kepemimpinan, dan keluar-masuknya pemain-pemain handal.

Pada tahun 1988
Srimulat terancam tergusur dari Taman Ria Senayan karena sepi penonton. Srimulat cabang Semarang juga menutup diri pada 6 November 1988. Pementasan di Taman Ria Senayan bubar pada tanggal 1 Mei 1989 dengan menunggak hutang 22 juta rupiah dan menyisakan 40 personel (18 pelawak, 8 musisi, 7 penyanyi, 4 penata dekor, 2 penata cahaya dan suara, 1 orang pengurus pakaian) dalam keadaan menganggur. Srimulat praktis tamat pada tahun 1989 ini.


Setelah Srimulat bubar, muncullah grup-grup lawak yang berasal dari orang-orang Srimulat. Basuki, Timbul dan Kadir membentuk Batik Group yang berpentas di TVRI. Kampret dan teman-teman membentuk grup Sanjaya. Sumati dkk. membentuk grup Palapa. Mamiek Prakoso membentuk Sumirat, sementara Nurbuat kembali eksis dengan grup Anoraga. Di Pasar Seni Jaya Ancol, muncul Aneka Ria Asmuni (Asmuni, Triman, dan Paul Polii). Di Semarang, Bambang Panuroto mendirikan Atlas. Meski bermacam-macam, grup-grup ini tetap berciri dan menggunakan pola lawakan Srimulat dalam pentas-pentasnya.

Pada tanggal 24 Oktober 1992
Srimulat tampaknya kembali menggeliat. Tessy (Kabul Basuki), Tarzan, Marwoto (dagelan Mataram), Didik Nini Thowok bersama Tarida Gloria dan Kiki Fatmala muncul di layar RCTI dan SCTV menggantikan posisi Lenong Rumpi. Mereka menampilkan lawakan-lawakan yang sangat kental unsur Srimulat-nya, antara lain lawakan berjudul Sadis tapi Mesra, Kontes Ratu Sejagad, Kau yang Kusuka dan Gosip.

Kebangkitan sebagian anggota Srimulat ini disusul pada tahun 1995, yang melibatkan hampir semua anggota lamanya. Jujuk Juariah, istri kedua Teguh dan primadona Srimulat, menghubungi Kadir Mubarak untuk mengumpulkan awak Srimulat agar tampil ke panggung bersama. Kadir merupakan salah satu alumni Srimulat yang relatif sukses, terutama di layar lebar. Berdasarkan kesepakatan dua orang itu, pada tanggal 27-28 Januari 1995 Srimulat menggelar pentas lawak dan kembali muncul di Taman Ria Remaja Senayan dengan bintang tamu Lydia Kandou, Evie Tamala, Doyok dan Eko Ndaru Jumadi. Dari Srimulat, muncul Jujuk, Tarzan, Asmuni, Basuki, Timbul, Bambang Gentolet, Nurbuat, Triman, Paul, Rohana, Rina, Sumiati, Niniek Chandra, Ani Asmara, Mamiek Prakoso, Kadir, Polo, Bendot, dll. Malam pertama mereka menampilkan judul Kadir-Doyok di Sarang Drakula, pada malam kedua pementasan bertajuk Love is Blind.

Pada tanggal 4-10 September 1995
Srimulat sekali lagi merasa perlu menyelenggarakan reuni. Sejak November 1995, Indosiar mulai menayangkan lawakan Srimulat dalam siarannya. Sejak saat itu, Srimulat berpentas secara permanen di Indosiar, setiap Kamis malam, pukul 21.30 sampai 22.30 dengan tajuk Aneka Ria Srimulat. Hingga penghujung 1999, Srimulat tampil rutin di Indosiar dengan rating 9 dan spot iklan mencapai 36.

Momen ini sangat penting bagi ‘Srimulat’ yang sudah bubar. Mereka bertahan karena pasar (industri entertainment). Pasca-bubarnya Srimulat, televisi menjadi factor yang sangat determinan dalam mengumpulkan anggota Srimulat yang tercerai-berai. Di sini, capital/modal bisa memainkan peran yang sangat penting bagi keberlangsungan sebuah kesenian.

Tahun 1996
masih tetap diwarnai adanya reuni yang kebablasan dari anggota Srimulat. Setelah di Jakarta, pentas reuni diselenggarakan di Solo pada tanggal 8-10 Januari dan di Semarang pada 13-15 Januari 1996. Melalui televisi, kebangkitan Srimulat Reuni semakin terlihat. Pada tahun 1998, Basuki merancang ketoprak humor “Ketoprak Jampi Stress” seperti Timbul yang membuat Ketoprak Humor di RCTI. Ketoprak Jampi Stress menampilkan orang-orang Srimulat ditambah Mandra dan Marwoto, yang tampil rutin setiap Selasa malam di Indosiar sejak 1999.


Srimulat dalam Konteks Genre Hiburan.
Menurut Anwari, penulis buku Indonesia Tertawa, Srimulat sebagai Sebuah Subkultur (1999),
di Indonesia ada 3 genre lawakan, yakni:

Genre lawakan kritis
Cikal bakal dan pertumbuhan genre ini berasal dari stasiun radio swasta, yakni radio Prambors dan Suara Kejayaan (SK) di Jakarta. Pelawaknya antara lain Warkop, Bagito, Patrio, Ulfa, Empat Sekawan, dll. Radio SK menjadi radio humor sejak pertengahan 1980-an. SK didirikan pada tahun 1967 sebagai radio amatir yang bernama Radio Kemenangan. Tahun 1971, SK menjadi radio swasta niaga. Tahun 1984, grup Bagito (Miing/Tubagus Dedi Suwandi Gumelar, Didin/Tubagus Didin Zaenal Abidin, dan Unang/Hadi Prabowo Suwardi) mulai memasukkan unsur-unsur humor dalam siarannya. Tahun 1986 radio SK menjadikan dirinya radio humor.

Genre lawakan Srimulat
Melawak bagi orang Srimulat adalah melawak yang berjalan begitu saja, mengalir. Melawak tidak memerlukan naskah literer yang rumit. Srimulat tidak berdiri di atas prinsip positivistik, empiris dan tidak pula pragmatis. “Lucu adalah aneh dan aneh adalah lucu,”begitulah semboyan Srimulat. Lawakannya tidak mengungkit soal-soal politik yang rumit sehingga Srimulat relatif luwes dibandingkan yang lain karena agak imun dengan soal politik.


Genre lawakan alternatif.
Genre ini tidak melakukan kritik politik seperti genre lawakan kritis, namun juga bukan bagian dari subkultur yang lebih kongkret dan jelas seperti Srimulat. Prinsip mereka, melawak tidak boleh mencaci-maki, mengkritik dan menghujat. Lawak adalah science. Di tahun 1990-an, Ateng-Iskak Group (dengan judul acara “Aneka Ria Jenaka” yang sama sekali tidak jenaka), Jayakarta Group dan D’Bodors.




0 comments:

Post a Comment

silahkan meninggalkan komentar anda disini, terima kasih..